BUDAYA LITERASI : MEMBANTU MASYARAKAT KOTA TANJUNGPINANG MENYIKAPI PEMBERITAAN HOAX DI MEDIA SOSIAL

BAB I

PENDAHULUAN

      Latar Belakang

      Media sosial muncul dalam media baru dan selalu mendapat sambutan yang hangat dari pengguna internet. Media sosial ini mengijinkan kita untuk dapat bertukar informasi dengan semua orang yang merupakan sesama pengguna media tersebut. Menurut Nasrullah (2015:11) media sosial adalah medium di internet yang memungkinkan pengguna merepresentasikan dirinya maupun berinteraksi, bekerjasama, berbagi, berkomunikasi dengan pengguna lain, dan membentuk ikatan sosial secara virtual.

      Fahmi (2017) merekomendasikan hoax buster sebagai upaya untuk mengantisipasi dan membatasi ketersebaran hoax. Hoax busting merupakan merupa dalam praktik fact checking,pengecekan fakta yang bertujuan untuk melakukan kontra narasi, dan membentuk engagement yang masuk dalam perbincangan publik. Pembentukan engagement ini juga merupakan strategi untuk memutus rantai ketersebaran dan kepercayaan publik terhadap hoax,Fahmi menjelaskan bahwa budaya baca memberikan kontribusi penting dalam upaya mengantisipasi hoax, mengutip Library Journal’s blog bahwa di era Post-truth, perpustakaan dan pustakawan memainkan peran penting,yaitu sebagai sumber utama pengecekan fakta.

     Berita palsu atau hoax ini dapat meningkatkan pada perbincangan publik,saat ini berita palsu atau hoax menjadi fokus perhatian utama dikalangan masyarakat terutama kaum millenial, banjir informasi menyulitkan khalayak untuk menentukan informasi yang benar dengan informasi palsu. Sebagaimana Nurdin (2017: 19) menjelaskan bahwa melalui media sosial, setiap orang bisa dengan mudah membuat tulisan dan mengemukakan pendapatnya lewat jejaring sosial. Namun, seiring intimnya interaksi yang dilakukan oleh individu dalam media sosial, penyebaran informasi justru banyak mengarah pada berita-berita bohong (hoax) yang hanya menguntungkan segelintir orang saja (Nurdin, n.d., 19).

     Dengan lemahnya sifat kritis masyarakat dalam menyikapi informasi yang menyebar melalui media sosial turut membawa mereka pada jalur untuk terus mengkonsumsi berita tersebut sebagai konsekuensi negatif dari teknologi digital akibat globalisasi, contohnya banyak sekali masyarakat yang membagikan postingan tersebut tanpa tau kebenaran, hal ini memicu penyebaran yang semakin luas yang disertai keterangan”teruskan” pada pesan berantai. Penyebaran berita hoax pun tidak memandang pada status dan peran mereka di masyarakat.Hoax diartikan sebagai upaya memutarbalikkan fakta menggunakan informasi yang meyakinkan namun kebenarannya tidak dapat dibuktikan. Penyebaran berita hoax juga mampu membawa pada kerancuan informasi, kebingungan dan kehebohan publik akan suatu informasi, bahkan hoax juga dapat berakibat pada perpecahan suatu bangsa. Pengabdian Kepada Masyarakat berupa diskusi dan pemberian pengetahuan melalui gerakan literasi yang membiasakan masyarakat untuk bisa meningkatkan kemampuan dalam menelaah berbagai berita palsu atau hoax.

BAB II

PEMBAHASAN

1.Fenomena Berita Palsu (Hoax) Pada Masyarakat.

          Perubahan masyarakat yang begitu cepat menuntut setiap insan seolah agar mampu mengikuti perkembangan zaman. Prinsip agar dapat membuka jaringan kepada banyak manusia, menjadikan masyarakat saat ini untuk saling memanfaatkan berbagai media yang tersedia. Hal ini menggambarkan bahwa manusia memiliki kecenderungan untuk mengenal hidup baru sekaligus menghamparkan realitas sosial kehidupan manusia yang baru juga. Maka berbagai jenis media digunakan, termasuk media sosial digunakan untuk menjalin komunikasi kepada berbagai pihak.

          Sejak hijrahnya manusia dari interaksi berbasis territorial ditempat-tempat tertentu kedunia maya serta berubahnya realitas sosial menjadi realitas virtual, maka seiring dengan itu realitas palsu pun menjadi pencuru dunia modern. Ironisnya, justru realitas palsu ini mengundang pesona yang begitu luar biasa dan daya pikat yang kuat dan sangat memabukkan bagi banyak orang. Pada akhirnya ditengah realitas yang semua palsu manusia menjalani hidup bersama kesadaran palsu.

         Menurut Juliani (2017), bahwa berita hoax bisa ditelurusi bahkan sebelum tahun 1600-an. Kebanyakan informasi pada era tersebut disebarkan tanpa adanya komentar. Pembaca bebas menentukan validitas informasi pemahaman, kepercayaan, maupun penemuan ilmiah terbaru saat itu. Kebanyakan hoax pada saat itu terbentuk karena spekulasi. Sedangkan menurut Firmansyah (2017), hoax adalah berita yang sengaja dibuat untuk menyesatkan pembaca. Ada dua motivasi utama penyebab berdarnya berita palsu atau hoax. Pertama adalah uang, artikel berita seolah-olah menjadi virus diberbagai media, yang dapat menarik pendapat iklan yang signifikan saat pengguna menklik situs tersebut. Maka tak heran jika dalam penyebaran berita hoax lebih banyak disebarkan melalui media sosial. Adapun motivasi yang kedua adalah ideologis. Beberapa penyedia berita palsu berusaha untuk memajukan kandidat yang mereka sukai.

       Namun yang menjadi perbedaan hoax yang sudah terjadi berabad-abad lalu dengan saat ini adalah jika terdahulu berita hoax berorientasi pada fitnahan dan kabar berita melalui lisan sehingga terus berkembang dan merambat pada media massa seperti media cetak, jika saat ini seiring berkembangnya kemajuan tekhnologi perkembangan hoax menjadi inovatif dengan melebar kedunia maya dan jejaring media sosial. Jika diamati, di Indonesia marak dan merajalelanya hoax dikarenakan hoax menjadi alat jitu sebagai alat fitnahan, bully, provokasi diranah politik. Khususnya pada saat terjadi perebutan kekuasaan yang menjatuhkan lawan pada pentas pilkada. Jika hal ini terus dibiarkan oleh tangan-tangan jahil maka berita hoax akan terus disebarkan oleh tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab.

      Merujuk pendapat yang dikemukan oleh Buente dan Robbin (2008), dimana mereka melakukan studi atau investigasi tentang tren aktivitas-aktivitas informasi internet warga Amerika antara Maret 2000 hingga November 2004. Hasil riset tersebut ada empat dimensi kepentingan penggunaan internet yaitu informasi (information utility), kesenangan (leisure/fun activities), komunikasi (communication), dan transaksi (transaction). Hasil ini dapat menggambarkan bahwa aktivitas pengguna media sosial di lingkungan civitas akademik Universitas Presiden meliputi empat dimensi sesuai dengan hasil temuan Buente dan Robbin (2008).

     Salah satu kasus berita palsu atau hoax yang beredar dengan begitu cepat ditanjungpinang adalah berita kematian warga sungai jang yang diduga terjangkit virus covid-19, padahal berita itu tidak terbukti dengan jelas kebenarannya oleh pemerintah dan pantauan rumah sakit, kasus ini muncul di media sosial tanpa membudayakan literasi dengan didasari pemikiran yang tidak kritis. Penyebaran berita hoax, tidak muncul dengan sendirinya ada motif seseorang, mengapa mereka menyebarkan berita hoax diantaranya karena ketidaktahuan mereka bahwa informasi tersebut merupakan informasi hoax, keinginan kita untuk diakui oleh orang lain, anggapan bahwa orang lain mungkin membutuhkan informasi tersebut. Ketidaktahuan seseorang mengenai berita yang benar dan palsu, membuat berita hoax semakin hari mewarnai kehidupan.

          Kotler dan Keller (2009) juga mengemukakan media sosial adalah media yang digunakan oleh konsumen untuk berbagi teks, gambar, suara, dan video informasi baik dengan orang lain maupun perusahaan dan vice versa. Pendapat tersebut didukung pernyataan Carr dan Hayes (2015) dimana media sosial adalah media berbasis internet yang memungkinkan pengguna berkesempatan untuk berinteraksi dan mempresentasikan diri, baik secara seketika ataupun tertunda, dengan khalayak luas maupun tidak yang mendorong nilai dari user-generated content dan persepsi interaksi dengan orang lain.

          Orang cenderung membangun sebuah perspektif melalui struktur pengetahuan yang sudah terkonstruksi dalam kemampuan menggunakan informasi (Pooter, 2011). Literasi media adalah pendidikan yang mengajari khalayak media agar memiliki kemampuan menganalisis pesan media, memahami bahwa media memiliki tujuan komersial/bisnis dan politik sehingga mereka mampu bertanggungjawab dan memberikan respon yang benar ketika berhadapan dengan media (Rochimah, 2011, p. 28)

2. Hoax Menjadi Konsumsi Baru Masyarakat Kota Tanjungpinang.

     Penyebaran informasi yang berkaitan dengan hoax justru menjadi opini masyarakat kota Tanjungpinang yang terus di konsumsi, hingga membudaya di masyarakat dan menimbulkan gaya hidup baru dalam bersosial media. Dalam beberapa detik berita hoax menjadi viral. Masyarakat kemudian membagikan dan menyampaikan pendapat mereka, tanpa memperdulikan apakah berita tersebut benar adanya atau tidak. Banyaknya berita-berita hoax yang membanjiri jagat maya, menimbulkan kehebohan, bahkan sampai pada saling membully satu sama lainnya, merupakan imbas dari modernitas.

     Masyarakat kota Tanjungpinang dikenal luas sebagai masyarakat dengan kebudayaan dan adat istiadat Melayu yang sangat pekat dari zaman ke zaman hingga saat ini, tetapi dengan seiring perubahan zaman dan berkembang nya teknologi dalam dunia peradaban manusia muncullah pergeseran nilai-nilai budaya. Tanda ingin dipandang sebagai seorang intelektual, tidak ketinggalan zaman, hitz, keren, dan lain sebagainya. Penyebaran berita hoax yang dilakukan oleh individu tidak lain untuk mencari popularitas diri (Irianti 2018). Maryani, menjelaskan bahwa kemunculan berita hoax dapat memunculkan konflik di dunia nyata, apabila ditanggapi dengan serius oleh masyarakat (Mujib 2017, 42–66).

BAB III

PENUTUP

Simpulan

           Dari pemaparan diatas dapat diambil kesimpulan, bahwa mewabahnya peredaran berita hoax di media sosial merupakan sebuah fenomena yang amat sangat meresahkan di masyarakat. Munculnya berita-berita hoax tersebut telah memberikan dampak negatif yang sangat signifikan, seperti membuat opini publik dalam kebohongan. Bahkan,berita hoax sekalipun bisa dianggap sebagai realitas nyata,ini yang menandakan bahwa dalam media sosial realitas nyata dan imajiner menjadi terkaburkan. Tindakan penyebaran berita hoax tersebut dapat berujung pada tindakan saling membully hingga konflik. Hal ini,merupakan konsekuensi nyata dari tindakan masyarakat dalam menanggapi berita yang belum jelas kebenarannya.

          Penting membangun sifat kritis dalam era digital ini,agar masyarakat dapat terhindar dari berita hoax, salah satunya dengan memeriksa terlebih dahulu kebenaran suatu berita,mengikuti forum anti hoax dan memperbaiki diri dengan meningkatkan keimanan kita agar terhindar dari tindakan pembodohan publik. Sekalipun media itu dianggap canggih, maka akan hilang kemampuannya selama manusia tidak berpihak kepada kebenaran. Keberadaan media sosial sebagai ruang baru bagi masyarakat membuat jarak dan waktu menjadi tidak ada batasnya. Lenyapnya batas-batas fisik tersebut, membuat berita-berita hoax merebak dengan cepatnya. Maka dari itu penting dilakukan pendidikan literasi media publik untuk memberikan penyadaran dan pengenalan akan informasi yang beredar di media. Setidaknya pengguna media kan mengetahui informasi yang sifatnya fakta atau hoax akan mengenali dari ciri-ciri berita.

          Maka untuk menangani penyebaran informasi hoax pada masyarakat adalah dengan meningkatkan literasi media sehingga masyarakat menjadi semakin kritis atas informasi yang diterimanya. Menjadi melek media memerlukan keterampilan berfikir kritis yang mampu menuntun seseorang agar dapat mengambil berbagai informasi yang berkaitan dengan informasi yang bermanfaat untuk banyak orang. Dengan adanya literasi media dan melalui peran masyarakat didalamnya, budaya baru akan ramah dalam bermedia pun akan tercipta. Media yang ramah adalah dimana masyarakat mampu mengonsumsi informasi-informasi dimedia secara sehat

Daftar Pustaka.

Buente W ,dan Robbin A. 2008. “Trends in internet Information Behavior: 2000-2004”.

Caleb T. Carr dan Rebecca A. Hayes (2015), Social Media: Defining, Developingand       Divining, Atlantic Journal of Communication , Volume 23, 2015.

Fahmi, Ismail (2017). Peta dan Tantangan Gerakan Anti-Hoax di Indonesia.

Irianti, Rosyida. 2018. “Hoax Dan Pergeseran Preferensi Sosial Politik Mahasiswa (Studi Deskriptif Mengenai Peran Ruang Publik Dalam Masyarakat Urban).” Komunitas 7 (2): 213–33.

Juliani, Reni, (2017). Media Sosial Ramah Sosial Versus Hoax, dalam Jurnal Attanzir, 8 (2), 136-149.

Kotler, Philip, dan Kevin Lane Keller, 2009. Manajemen Pemasaran Jilid 1, edisi Ketiga Belas, Terjemahan Bob Sabran, MM. Penerbit Erlangga, Jakarta.

Mujib, Abd. 2017. “Pesan Al-Quran dalam Menyikapi Berita Hoax: Perspektif Dakwah di Era New Media.” Jurnal Komunikasi Islam7 (1): 42–66.

Nasrullah, Rulli. 2015. Media Sosial: Perspektif Komunikasi, Budaya, dan Sosioteknologi.Simbiosa Rekatama Media.

Nurdin, Ismail. n.d. Etika Pemerintahan: Norma, Konsep, dan Praktek bagi Penyelenggara Pemerintahan. Lintang Rasi Aksara Books.

Pooter, J. W. ,2011,. Media literacy (7th ed.). California: SAGE.

Ricky Firmansyah, 2017. Web Klarifikasi Berita Untuk Meminimalisir Penyebaran Berita Hoax, dalam Jurnal Informatika, 4 (2), h.231. Rochimah, T. H. ,2011,. Gerakan Literasi Media: Melindungi Anak-Anak dari Gempuran Pengaruh Media. In D. Herlina, Gerakan Literasi Media Indonesia (pp. 18-36). Yogyakarta: Rumah Sinema.

Penulis : Ramadhani Cassanti – Sosiologi – Universitas Maritim Raja Ali Haji (Juara 3 Lomba Essay, Kegiatan Sociology Online Competition HIMSOS UMRAH)

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

92 thoughts on “BUDAYA LITERASI : MEMBANTU MASYARAKAT KOTA TANJUNGPINANG MENYIKAPI PEMBERITAAN HOAX DI MEDIA SOSIAL”