DESEMBER BULAN PILKADA

Pada bulan ini beberapa daerah di Indonesia akan menyelenggarakan Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA). Pemilihan ini akan berlangsung pada tanggal 9 Desember 2020. Ketika tiba masanya  ternyata tahun ini juga menjadi tahunnya Corona. Hampir semua tata cara menjalani kehidupan mengalami perubahan. Termasuk dalam hal merayakan pesta demokrasi. Pemilu tidak bisa berjalan seperti biasanya, baik pada saat hari pemilihan di TPS, maupun seluruh proses pekerjaan. Segala upaya secara maksimal telah dilakukan dan penyelenggaraan pemilu agar regulasi yang disusun untuk melindungi seluruh masyarakat dari potensi penyebaran Covid-19 bisa berjalan dengan baik dilapangan.Aturan hanyalah hitam diatas  putih jika tidak di implementasikan dalam pelaksanannya. Dibutuhkan komitmen terkait yang berkepetingan atas pelaksanaan PILKADA untuk mengawal penerapan protokol kesehatan di seluruh tahapannya.

Kemudian Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menerbitkan revisi aturan yang melarang kampanye dengan menciptakan kerumunan masa. Sebagaimana salah satu proses yang berjalan untuk PILKADA  yaitu kempanye perkumpulan lintas organisasi. Kampanye tersebut dinyatakan basi dan tidak diperbolehkan karena adanya keberadaaan covid-19. Sehingga kampanye PILKADA 2020 harus menciptakan hal baru yang lebih menarik, tepat sasaran. Seiring masa kampanye PILKADA para calon kepala daerah berusaha mencari dukungan masyarakat dalam situasi pandemi covid-19. Kini gerbang republik terbuka lagi untuk sebuah pesta transparasi. Maka kampanye tatap muka diperbolehkan dengan jumlah peserta yang hadir dibatasi paling banyak 50 orang serta menerapkan protokol kesehatan. Maka tidak heran jika calon kepala daerah sedang sibuk berkunjung ke wilayah-wilayah untuk memaparkan visi dan misi mereka saat terpilih nantinya. Mereka itu sedang berusaha untuk mencuri hati rakyat, agar memilih mereka.

Sebagai konsekuensi dari aturan ini, jika ada yang melanggar, maka diberi sanksi surat peringatan dan dibubarkan kegiatan kampnayenya. BAWASLU sebagai lembaga yang memiliki kewenangan dalam hal pengawasan, terutama dari sisi penerapan protokol kesehatan dan teknis kampanye sesungguhnya melakukan apa yang menjadi kewenangan konstitusionalnya. Hanya, persoalan protokol kesehatan ini dimensinya berhubungan dengan banyak pihak lain yang tidak semuanya terkait langsung dengan thapan PILKADA. Upaya peringatan tertulis hingga pembubaran telah dilakukan oleh BAWASLU terhadap sejumlah pelanggaran protokol kesehatan yang menjadi syarat penyelenggaraan pertemuan terbatas dan tatap muka.

Hal ini juga sangat bisa dipahami karena situasi pandemi ini membuat kita harus menyesuaikan dengan banyak aturan, diantaranya protokol kesehatan. Hal-hal yang dulunya bisa dilakukan sekarang menjadi tidak boleh atau dibatasi. Inilah salah satu konsekuensi dari keputusan melanjutkan pelaksanaan PILKADA disaat pendemi. Pilihan pertemuan terbatas yang sangat banyak, tentu berimplikasi pada potensi penyebaran Covid-19 jika tidak dibarengi dengan penerapan protokol kesehatan yang maksimal. Temuan BAWASLU menunjukkan bahwa tidak semua peserta PILKADA sudah benar-benar menerapkan protokol kesehatan dalam kampanyenya. Sudah ada yang terjadi pelanggaran saat kampannye.

Tidak hanya itu koordinator bidang pengawasan bawaslu menyampaikan dengan dugaan pelanggaran politik uang. Dugaan pelanggaran politik uang akan menjadi fokus pengawas saat memasuki masa tenang menjelang PILKADA tanggal 9 desember 2020. Tidak hanya dugaan pelanggaran berupa politik uang, BAWASLU juga menemukan sejumlah pelanggaran lain, salah satunya berkaitan dengan pelaksanaan  kampanye metode daring. Dugaan pelanggaran diantaranya mengandung materi yang dilarang Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang PILKADA.

Pemilihan umum PILKADA dalam perspektif sosiologi hukum merupakan ilmu yang mengkaji struktur sosial dan proses sosial beserta sebagai perubahan yang terjadi didalamnya. Dalam kenyataan sosial yang dipenuhi oleh berbagai unsur sosial. Seacara ontologis, sosiologi merupakan ilmu pengetahuan yang mengkaji hakikat kehidupan manusia dalam bermasyarakat dalam kaitannya. Negara mengatur semua tentang kehidupan rakyatnya, sehingga menimbulkan perubahan sosial. Penyelenggaraan pemilu efektif, menurut tinjauan sosiologi hukum, ada beberapa faktor, yaitu :

  1. Undang-undang materi merupakan Undang-Undang yang mengatur tentang pemilu telah disesuaikan dengan cita-cita Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 yaitu kedaulatan ada ditangan rakyat, jadi materi Undang-Undang tersebut telah mengakomodir tentang demokrasi.
  2. Penyelenggaraan pemilu  harus melaksanakan peranan yang aktual, penyelenggaraan pemilu sebaiknya mempu “mawas diri”, yang akan tampak pada perilaku yang merupakan pelaksanaan dari pada peranan aktualnya. Agar mampu mawas diri penyelenggaraan pemilu harus berikhitiar untuk hidup.
  3. Sarana dan prasarana tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu maka tidak mungkin penyelenggaraan pemilu akan berlangsung dengan lancer. Sarana atau fasilitas tersebut mencakup, tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup dan sebaginya.
  4. Masyarakat. Jika masyarakat sudah mengetahui hak dan kewajiban mereka, maka mereka akan melakukan aktivitas sesuai dengan hak dan kewajiban tersebut, sehingga kedaulatan yang berada di tangan rakyat bisa dioptimalkan.

Pemilihan umum merupakan sebuah bentuk untuk menciptakan proses penjaringan orang-orang untuk jabatan-jabatan politik tertentu seperti Perwakilan Rakyat maupun Kepala Daerah baik ditingkat Provinsi maupun Kabupaten kota bahkan untuk memilih Kepala Daerah (PILKADA). Dalam proses PILKADA, sosiologi hukum dapat  meneliti beberapa masalah yang muncul seperti perilaku yang muncul dalam proses PILKADA baik yang dilakukan calon Kepala Derah atau masyarakat, kemudian perilaku pemilih itu sendiri, krmudian gejala-gejala sosial yang timbul akibat dari pemilihan tersebut, perilaku pemilih berdasarkan kajian sosiologis usia pemilih ikut mempengaruhi proses pemilihan :

  1. Pemilih pemula (17-22 tahun) rata-rata terdiri dari 20-30 persen pemilih. Pemilih pemud tidak memiliki kepedulian untuk memilih akan tetapi mudah dipengaruhi.
  2. Pemilih dewasa 22-50 tahun) rata-rata terdiri dari 30-40 persen pemilih. Pemilih dewasa cenderung lebih dewasa dalam memberi perbedaan yakni dari perbedaan pendapat. Variasi pilihan calon dan perbedaan pemilihan parpol.
  3. Pemilih orang tua (50 tahun ke atas) rata-rata terdiri dari 10-20 persen pemilih. Mereka yang tidak lagi banyak mendapatkan pengetahuan politik dan bahkan tidak tahu menahu pemimpin dan kepimpinan karena faktor usia.

Terakhir, dalam hal pemilihan calon pemimpin, rakyat mempunyai hak penuh unutk menentukan siapa yang berhak untuk menjadi sang pemimpin. Biarkan rakyat yang menentukan karena rakyat adalah pemegang kedaulatan dan pemilik demokrasi di negeri ini. Status tertinggi itulah rakyat yang berhak menentukan siapa yang pantas mendapatkan mandat untuk menjadi seorang pemimpin bagi rakyat.

PILKADA adalah demokrasi milik rakyat. Tidak ada PILKADA jika tanpa rakyat…Terpecaya karena keadilan, kejujuran, dan kesetaraan…
Tak perlu sempurna untuk mewujudkannya. Tapi hanya butuh integritas…
Tak perlu curang untuk mewujudkannya. Hanya butuh komitmen berjiwa sejati !!!

Penulis : Try Silviani (Sosiologi 2019)

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

23 thoughts on “DESEMBER BULAN PILKADA”