Problematika Penggunaan Kata “Anjay” Terhadap Generasi Muda Dilihat Dari Sudut Pandang Sosiologi

Kata “anjay” baru-baru ini menjadi perhatian publik, dimana kata anjay sendiri merupakan bahasa gaul yang sedang populer. Kata “anjay” merupakan kata yang di plesetkan dari kata yang sebenarnya yaitu “Anjing” seperti kita ketahui orang Indonesia sering menggunakan kata Anjing sebagai umpatan dan di anggap tidak pantas di ucapkan oleh anak-anak.

Penggunaan kata “anjay” sendiri sudah digunakan oleh kalangan muda sejak tahun yang lalu dan kembali viral akhir-akhir ini. Awal mula viral nya kata anjay ini dimula pada saat seorang YouTuber yang bernama Lutfi Agizal mengunggah video ke media sosial dan menyatakan bahwa kata anjay tersebut memiliki makna yang tidak baik dan dapat merusak moral anak bangsa.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kata “anjay” bukanlah kata baku melainkan sebuah ungkapan yang di plesetkan dari kata yang sebenarnya sehingga terdengar lebih halus. Menurut Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan kata anjay termasuk bahasa gaul atau bisa disebut dengan bahasa prokem (bahasa sandi) yang di gunakan oleh kalangan remaja tertentu.

Ahli linguistik dari Universitas Gadjah Mada I Dewa Putu Wijana memandang pelarangan ini dikeluarkan karena melihat maksud sesungguhnya dari istilah “anjay” adalah “anjing” yang berarti makian. Konotasi ini dalam budaya Indonesia mengacu pada anjing, binatang yang perilakunya diasosiasikan tidak baik. Jika digunakan secara kiasan untuk berinteraksi untuk mengacu seseorang, maka itu akan menimbulkan konotasi negatif dan menimbulkan rasa yang kurang menyenangkan. Walaupun untuk menentukan maksudnya, orang sebenarnya harus melihat konteksnya, siapa yang berbicara dan kepada siapa dia berbicara.

Dilihat konotasinya dan penggunaannya untuk apa, mungkin dalam halnya “anjay” ada kecenderungan digunakan secara negatif. Kata “anjay” sendiri digunakan untuk menunjukkan rasa keakraban kepada teman. Pada perkembangannya kata “anjay” dapat dimaknai secara berbeda tergantung pada situasi dan penggunaan kata “anjay” juga bisa  di lihat dari berbagai sudut pandang, tempat, dan makna. Jika kata “anjay” dimaksudkan dengan kata pengganti ucapan salut atau bermakna kagum atas suatu peristiwa dan tidak mengandung kekerasan atau bully, maka penggunaannya bisa dimaklumi alias tidak apa-apa.

Namun jika istilah “anjay” digunakan sebagai sebutan untuk merendahkan seseorang maka hal itu termasuk dalam salah satu bentuk kekerasan verbal yang dapat di laporkan sebagai tindak pidana, tanggapan masyarakat terhadap makna kata “anjay” itu sendiri terkait dengan kata “anjay” maka harus dilihat konteks permasalahannya. Hal itu termasuk dalam ilmu tentang hubungan antara konteks luar bahasa dan tuturan bahasanya.

Konteks luar bahasa itu sendiri yaitu seperti dalam pergaulan, kesepakatan kelompok dan itu sangat mempengaruhi maksud dari tuturan bahasanya. Maksud dari tuturan tersebut tentu tidak  bisa di lihat dari bentuk dan makna saja tetapi juga dilihat pula dari tempat dan waktu berbicara,  siapa yang terlibat, lawan bicaranya, tujuannya, cara penyampaiannya dan sebagainya. Kata “anjay” ini menuai pro dan kontra di kalangan masyarakat khusus nya orang tua. Sampai pada dimana titik pembahasan kata “anjay” ini pun sontak menghebohkan dunia maya dan menjadi trending satu di Twitter saat itu ada ribuan Tweet ujaran kata “anjay” yang di tunjukan masyarakan dengan kontek menyinggung dan ada pula hanya untuk candaan saja.

Lantas Komisi Perlinduangan Anak pun meminta khalayak untuk memperhatikan makna dari kata “anjay” dan akhirnya KPAI menghimbau agar publik tidak lagi mengunakan kata “anjay” dalam kalimat sehari-hari. Dan mengeluarkan surat peraturan yang mengesahkan pelarangan kata “anjay” kepada seluruh masyarakat dengan syarat dan kebijakannya, maka jika melanggar akan di kenakan Pelanggaran  pasal dan di hukum pidana.

Dari sudut pandang sosiologi mengenai masalah ini jika masyarakat tidak bisa mengontrol apa yang dilakukan termasuk menggunakan kata “anjay” hal ini dapat mempengaruhi sistem kemasyarakatan di mana menurut Teori Kontrol Sosial Travis Hirschi yaitu penyimpangan merupakan hasil dari kekosongan kontrol atau pengendalian sosial.

Teori ini dibangun berdasarkan pandangan bahwa setiap manusia cenderung untuk tidak patuh terhadap hukum atau memiliki dorongan untuk melakukan pelanggaran hukum. Oleh karena itu, para ahli teori kontrol menilai perilaku menyimpang merupakan konsekuensi logis dari kegagalan seseorang untuk mentaati hukum. Dalam konteks ini, teori kontrol sosial sejajar dengan teori konformitas. Agar tidak terjadi perdebatan, harus dipahami karena setiap kasus berbahasa itu berbeda-beda tergantung pemahamanya sehingga bisa jadi positif atau  negatif.

Setiap individu seharusnya belajar untuk teratur dan tidak melakukan tindakan penyimpangan atau kriminal. Jika penggunaan kata “anjay” dilarang secara hukum dengan maksud dan tujuan tertentu yaitu agar masyarakat bisa lebih bijak dalam bertutur kata agar tidak ada pihak pihak manapun yang merasa tersinggung. Maka diadakanlah hukuman bagi pelanggar penggunaan kata “anjay” tersebut dengan tujuan dan maksud yang baik. Lebih lanjut Travis Hirschi memetakan empat unsur utama di dalam kontrol sosial yang terkandung di dalam proposisinya yaitu attachment (kasih sayang), commitment (tanggung jawab), involvement (keterlibatan atau partisipasi), dan believe (kepercayaan atau keyakinan).

Empat unsur utama itu di dalam peta pemikiran Trischi dinamakan social bonds yang berfungsi untuk mengendalikan perilaku individu. Keempat unsur utama itu dijelaskan antara lain, Attachment atau kasih sayang adalah sumber kekuatan yang muncul dari hasil sosialisasi di dalam kelompok primernya (keluarga), sehingga seseorang memiliki komitmen yang kuat untuk patuh terhadap aturan. Jika penggunaan kata “anjay” dilarang digunakan dalam konteks yang ke arah menjatuhkan bully atau pelanggaran hukum tertulis yang telah dibuat di sinilah peran keluarga atau orang terdekat  yang mengarahkan seseorang tersebut untuk bijak bertutur kata.

Commitment atau tanggungjawab yang kuat terhadap aturan dapat memberikan kerangka kesadaran mengenai masa depan. Bentuk komitmen ini, antara lain berupa kesadaran bahwa masa depannya akan suram apabila ia melakukan tindakan menyimpang dan pelanggaran hukum.

Involvement atau keterlibatan akan mendorong individu untuk berperilaku partisipatif dan terlibat di dalam ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh masyarakat dan hukum yang berlaku intensitas keterlibatan seseorang terhadap aktivitas-aktivitas normatif konvensional dengan sendirinya akan mengurangi peluang seseorang untuk melakukan tindakan-tindakan melanggar hukum.

Believe atau kepercayaan, kesetiaan, dan kepatuhan terhadap norma-norma sosial atau aturan masyarakat akhirnya akan tertanam kuat di dalam diri seseorang dan itu berarti aturan sosial telah self-enforcing dan eksistensinya (bagi setiap individu) juga semakin kokoh. Penggunaan kata “anjay” dalam konteks pengucapannya tidak mengarah pada tidakan pelanggaran hukum, namun alangkah lebih baik agar tidak terjadi kesalahpahaman penggunaan kata  dihimbau kepada seluruh masyarakat untuk lebih baik dalam penggunaan dalam pemilihan tutur kata.

Penulis : Lasnawati (Sosiologi 2019)

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

69 thoughts on “Problematika Penggunaan Kata “Anjay” Terhadap Generasi Muda Dilihat Dari Sudut Pandang Sosiologi”